Catatan Seorang Perempuan, Ibu, dan Programmer
Empat hari setelah aku menjalani operasi pengangkatan janin karena hamil di luar kandungan, aku sudah kembali bekerja.
Bukan karena aku merasa kuat. Tapi karena aku tidak punya pilihan lain. Aku adalah satu-satunya pencari nafkah di rumah.
Suamiku belum mendapat pekerjaan pasca pandemi. Biaya hidup terus berjalan.
Untungnya, aku masih punya BPJS dari tempat kerjaku itu yang menyelamatkan kami dari beban biaya operasi besar di rumah sakit. Kalau bukan karena itu, entah bagaimana kami harus membayarnya.
Aku seorang programmer. Ya, perempuan di dunia kerja yang mayoritas masih dipenuhi laki-laki. Tapi hari itu, aku tidak sedang merasa hebat. Aku merasa hancur. Dan kosong.
Kehamilan ektopik bukan hanya soal kehilangan janin.
Itu juga kehilangan bagian tubuhku sendiri salah satu tuba falopi, tempat seharusnya kehidupan kecil itu tumbuh dengan aman, tapi justru menjadi tempat yang mengancam nyawaku.
Saat aku bangun dari operasi, aku tahu aku sudah kehilangan bukan hanya janin, tapi juga bagian dari tubuhku sebagai perempuan.
Rasanya seperti kehilangan satu tangan, satu kaki, atau satu ginjal. Aku merasa tak utuh. Seperti mendadak menjadi penyandang disabilitas yang tak terlihat.
Tapi dunia tidak berhenti untuk memberiku ruang berduka.
Empat hari kemudian, aku duduk kembali di depan laptop, menyelesaikan pekerjaan, push kode ke repo, seolah semuanya baik-baik saja.
Di tengah kondisi itu, salah satu yang paling menyakitkan bukan luka operasi. Tapi kata-kata yang dilontarkan kepadaku:
“Rumah ini dibangun oleh iparmu. Kamu harus tahu diri.”
Padahal, ketika rumah itu dibangun, aku bahkan belum menikah.
Aku tidak tahu siapa yang membayar apa. Tapi aku tahu satu hal: suamiku punya bukti pinjaman bank atas namanya di waktu yang sama rumah itu dibangun. Ada bukunya. Bukti nyatanya jelas.
Aku juga tahu, karena aku melihat dengan mata kepala sendiri:
Selama pacaran, suamiku adalah orang yang paling bekerja keras dibanding saudaranya. Dan hari ini, setelah pandemi berakhir, penghasilannya justru lebih tinggi dibanding iparnya yang dulu katanya “membangun rumah”.
Aku jadi bertanya-tanya:
Mengapa aku harus berterima kasih atas sesuatu yang tidak jelas, kepada orang yang bahkan tidak tahu perjuangan kami hari ini?
Kenapa aku yang sudah kehilangan janin, kehilangan bagian tubuh, tetap bekerja, menopang rumah tangga, malah yang diminta “tahu diri”?
Aku bukan hanya seorang istri. Aku adalah programmer perempuan yang bertahan di dunia yang sering kali keras terhadap perempuan.
Aku menulis ini bukan karena aku ingin didengarkan saja, tapi karena aku tahu:
Ada banyak perempuan di luar sana yang mungkin mengalami hal serupa — disalahpahami, ditekan untuk bersyukur atas sesuatu yang tidak mereka ketahui kebenarannya, dan tidak diberi ruang untuk sembuh dengan tenang.
Jika kamu salah satunya, kamu harus tahu:
Hari ini, aku masih bekerja. Masih merangkai hari dengan tubuh yang tidak lagi utuh. Tapi aku berdiri. Dan itu sudah cukup luar biasa.
Dan kalau kamu pernah mengalami hal seperti ini kehilangan, dituntut, diragukan kamu tidak sendiri.
Kita adalah perempuan yang tetap berjalan meski dipaksa diam. Kita adalah pekerja, istri, dan manusia yang layak dipahami.
Dan kita berhak menceritakan kisah kita, agar suara-suara yang dibungkam bisa kembali didengar.
17 Desember 2024
Di era digital ini, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupa...
28 Oktober 2024
Dunia teknologi terus berkembang, begitu juga dengan bahasa pemrograman. Setiap...
20 Desember 2024
Belajar komputer sering kali dianggap membosankan oleh anak-anak. Namun, dengan...
30 Desember 2024
Di era digital seperti sekarang, kemampuan menggunakan komputer menjadi keteramp...
9 Juni 2025
Perkembangan teknologi membuat cara kita bekerja ikut berubah. Kini, banyak peke...