Belakangan ini, aku sering memperhatikan satu hal yang makin terasa nyata: ada anak-anak di sekitar kita yang sulit, bahkan enggan, mengucapkan tiga kata sederhana tolong, maaf, dan terima kasih. Ini bukan soal lupa atau malu. Ini sudah menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan itu sering kali bukan terbentuk dari mereka sendiri, melainkan diwariskan.
Ada anak tetangga yang setiap hari bermain bersama anak-anak lain. Ketika ingin sesuatu, dia langsung merebut. Saat melakukan kesalahan, dia diam — tak ada kata maaf. Ketika diberi sesuatu, dia pergi begitu saja, tanpa ucapan terima kasih. Mungkin sekilas terlihat sepele, “Ah, namanya juga anak-anak.”
Tapi yang bikin aku merenung justru ketika melihat sikap orang tuanya — terutama ibunya. Ia berbicara seenaknya, jarang sekali minta maaf meski menyakiti orang lain, dan jarang memberi ucapan terima kasih bahkan setelah dibantu. Lalu aku sadar: anak ini hanya sedang meniru.
Aku juga memperhatikan hal serupa dari ipar sendiri. Anaknya sudah besar, sekolah bagus, pintar bicara — tapi sangat sulit berkata “maaf” ketika menyakiti orang lain, atau “tolong” ketika minta bantuan. Bahkan sekadar “terima kasih” pun jarang keluar. Awalnya aku mengira mungkin dia hanya malu. Tapi ketika melihat cara orang tuanya berbicara — aku jadi paham.
Tak pernah sekalipun aku dengar ayah atau ibunya meminta maaf dengan tulus kepada siapa pun. Bahkan saat jelas-jelas bersalah, mereka memilih menghindar atau menyalahkan. Dalam keluarga, mereka selalu bicara dari posisi “lebih tinggi”. Seakan kata “tolong” itu merendahkan martabat mereka.
Anak bukan cermin yang memantulkan kata-kata kita. Mereka adalah spons yang menyerap sikap dan perilaku kita sehari-hari. Jika di rumah tidak ada budaya meminta maaf, maka anak pun tak akan merasa perlu untuk belajar melakukannya. Jika kita sebagai orang tua menganggap terima kasih itu basa-basi, maka jangan heran jika anak tumbuh menjadi pribadi yang dingin dan tak tahu berterima kasih.
Yang menyedihkan adalah, anak-anak seperti ini tumbuh besar dengan membawa cara pandang yang salah dalam bersosialisasi. Mereka bisa cerdas, bisa sukses, tapi akan kesulitan menjaga hubungan, meminta maaf saat bersalah, dan menghargai bantuan orang lain.
Dan sayangnya, itu semua bukan salah mereka. Itu warisan.
Apakah kita sedang memberi contoh yang baik?
Apakah anak-anak di sekitar kita mendengar kata “maaf” dari mulut kita?
Apakah mereka pernah melihat kita dengan tulus berkata “terima kasih”?
Apakah mereka tahu bahwa “tolong” bukan tanda lemah, tapi tanda hormat?
Jika tidak, maka jangan heran jika suatu saat nanti — tiga kata itu hilang dari generasi kita.
Dan semua itu dimulai bukan dari anak. Tapi dari kita, orang tuanya.
17 Desember 2024
Di era digital ini, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupa...
28 Oktober 2024
Dunia teknologi terus berkembang, begitu juga dengan bahasa pemrograman. Setiap...
20 Desember 2024
Belajar komputer sering kali dianggap membosankan oleh anak-anak. Namun, dengan...
30 Desember 2024
Di era digital seperti sekarang, kemampuan menggunakan komputer menjadi keteramp...
9 Juni 2025
Perkembangan teknologi membuat cara kita bekerja ikut berubah. Kini, banyak peke...