Penebangan hutan adalah salah satu isu lingkungan terbesar di Indonesia. Walaupun pemerintah sudah menjalankan berbagai program reboisasi dan rehabilitasi hutan, bencana banjir masih terjadi di banyak wilayah — termasuk di Sumatera pada November 2025. Lalu, apa sebenarnya yang sedang terjadi?
🌳 Apa Itu Penebangan Hutan?
Penebangan hutan adalah aktivitas mengurangi atau menghilangkan tutupan pohon di suatu kawasan. Aktivitas ini terbagi menjadi dua jenis:
- Penebangan Legal, dilakukan dengan izin pemerintah, biasanya untuk hutan produksi atau kegiatan industri tertentu.
- Penebangan Ilegal, dilakukan tanpa izin dan tanpa mempertimbangkan kelestarian ekosistem. Aktivitas ini sering menjadi penyebab utama kerusakan hutan.
🌍 Dampak Penebangan Hutan
Kerusakan hutan tidak terjadi dalam sehari. Namun ketika tutupan pohon terus berkurang, berbagai fungsi alam akan hilang dan menimbulkan bencana. Dampak paling serius di antaranya:
- Banjir dan longsor — akar pohon berfungsi menyerap air dan mengikat tanah. Tanpa pohon, air mengalir langsung ke permukaan, memicu banjir bandang dan erosi.
- Percepatan perubahan iklim — pohon menyerap CO₂. Ketika ditebang, karbon dilepas kembali ke atmosfer.
- Hilangnya habitat satwa liar seperti harimau sumatra, orangutan, badak, dan burung endemik.
- Rusaknya fungsi hidrologis hutan, yang menyebabkan sungai menjadi keruh dan debit air tidak stabil.
- Konflik sosial, terutama bagi masyarakat adat yang kehilangan tanah leluhur.
💰 Kenapa Penebangan Hutan Terjadi?
Beberapa faktor utamanya meliputi:
- Permintaan kayu dan produk kehutanan
- Pembukaan lahan sawit dan pertanian skala besar
- Pertambangan
- Pembangunan infrastruktur
- Aktivitas illegal logging akibat lemahnya pengawasan
🌳 Untuk Apa Hutan Ditebang di Indonesia?
Faktor terbesar penurunan tutupan hutan di Indonesia bukan hanya penebangan kayu, melainkan konversi lahan. Beberapa penyebab utamanya:
- Perkebunan sawit — menjadi penyumbang terbesar deforestasi nasional pada 2001–2016.
- Industri kayu, pulp, dan kertas.
- Pertambangan yang memerlukan pembukaan lahan luas.
- Ekspansi pertanian, infrastruktur, dan proyek pembangunan.
Dengan kata lain, deforestasi di Indonesia merupakan bagian dari proses industrialisasi dan ekonomi skala besar.
📉 Sebaran dan Tren Deforestasi
Sejumlah penelitian mencatat bahwa:
- Perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) menyumbang lebih dari dua per lima total deforestasi pada 2001–2016.
- Lahan sawit menjadi penyumbang tunggal terbesar deforestasi (sekitar 23% dari total nasional).
- Angka deforestasi memang sempat menurun dalam beberapa tahun terakhir, tetapi konversi lahan tetap berlangsung, sehingga ancaman terhadap hutan primer tidak hilang.
🌱 Apakah Indonesia Sudah Melakukan Reboisasi?
Ya, Indonesia memiliki banyak program reboisasi dan rehabilitasi hutan. Beberapa contohnya:
- Lampung (2023) — rehabilitasi hutan sekitar 434 hektare.
- Jember & Tuban — program reboisasi bersama instansi kehutanan dan PDAM.
- Program skala nasional yang menargetkan jutaan hektare lahan kritis di berbagai provinsi.
Manfaat reboisasi sangat besar: memulihkan fungsi hidrologis, meningkatkan keanekaragaman hayati, mencegah erosi, dan menyerap karbon. Namun program ini menghadapi tantangan:
- Ekosistem hutan primer sulit dipulihkan hanya dengan penanaman bibit baru.
- Banyak reboisasi menggunakan tanaman cepat tumbuh yang kurang efektif secara ekologis.
- Konflik lahan dan lemahnya pengawasan sering menghambat keberhasilan jangka panjang.
🎯 Lalu, Mengapa Banjir di Sumatera Masih Terjadi?
Walaupun ada reboisasi, banjir masih terjadi di berbagai wilayah, termasuk Sumatera. Penyebabnya bukan sekadar “kurang pohon”, tetapi gabungan faktor lingkungan dan tata kelola:

1. Reboisasi Tidak Mampu Menandingi Skala Deforestasi
Kerusakan hutan di Sumatera sudah berlangsung puluhan tahun. Pembukaan lahan sawit, tambang, dan logging legal–ilegal membuat hutan hilang jauh lebih cepat daripada upaya menanam kembali.
2. Banyak Reboisasi Tidak Mengembalikan Fungsi Hutan Alami
Program reboisasi sering menggunakan:
- akasia, eucalyptus, sengon, atau monokultur,
- hutan tanaman industri (HTI).
Masalahnya, hutan seperti ini:
- tidak punya akar sedalam hutan primer,
- tanahnya miskin serasah & humus,
- tidak mampu menyimpan air dalam jumlah besar.
Akibatnya, fungsi pencegah banjir tidak kembali.
3. Alih Fungsi Lahan Masih Masif
Konversi hutan menjadi:
- sawit,
- permukiman,
- tambang,
- industri kayu & pulp,
membuat tanah:
- lebih kedap air,
- lebih mudah erosi,
- meningkatkan aliran permukaan → banjir.
4. Drainase Kota Buruk
Banjir bukan hanya masalah hutan. Banyak kota besar di Sumatera memiliki:
- saluran yang tersumbat,
- minim ruang resapan,
- pembangunan pesat tanpa mempertimbangkan tata air,
- sampah yang menghalangi aliran.
5. Reboisasi Tanpa Perawatan
Kasus yang sering terjadi:
- pohon ditanam, lalu tidak dirawat → mati,
- tidak ada pemeliharaan 3–5 tahun,
- fokus hanya pada seremonial menanam pohon, bukan restorasi ekosistem.
6. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Area gambut di Sumsel, Riau, dan Jambi sangat rentan. Kebakaran menyebabkan:
- hancurnya vegetasi luas,
- rusaknya struktur tanah gambut,
- tanah kehilangan kemampuan menyimpan air,
- permukaan tanah turun (subsidence).
Semua ini memperparah risiko banjir.
⭐ Kesimpulan: Mengapa Banjir Masih Terjadi Meski Ada Reboisasi?
Banjir di Sumatera bukan terjadi karena tidak ada upaya reboisasi, tetapi karena:
- Kerusakan hutan jauh lebih besar daripada yang direhabilitasi.
- Reboisasi tidak mengembalikan fungsi hutan primer.
- Alih fungsi lahan masih sangat besar.
- Sistem drainase kota buruk.
- Kebakaran gambut merusak daya serap tanah.
➡️ Apa Solusi Nyata Untuk Masa Depan?
Mengatasi banjir tidak cukup dengan menanam pohon. Solusi yang diperlukan meliputi:
- Penghentian perusakan hutan dan pembatasan izin konversi lahan
- Pengawasan ketat illegal logging
- Restorasi gambut secara menyeluruh
- Reboisasi yang berbasis ekosistem, bukan hanya monokultur
- Perbaikan tata ruang dan drainase kota
- Pelibatan masyarakat lokal dan adat
- Penegakan hukum yang tidak tebang pilih