Di Bali, tanah bukan hanya aset ekonomi. Ia menyatu dengan adat, leluhur dan sistem sosial yang sudah hidup berabad-abad. Karena itu, ketika ada proyek besar yang membutuhkan lahan, wajar jika masyarakat setempat menolak atau meminta kompensasi tinggi. Sebab pindah dari tanah leluhur bukan dari sekadar soal “jual beli”, melainkan membawa konsekuensi budaya, spiritual dan sosial yang sangat berat.
Memindahkan merajan (pura keluarga) bukan hal sederhana. Ada serangkaian upacara yang harus dilaksanakan: mulai dari matur piuning, caru, pemelaspas, hingga ngeteg linggih. Setiap upacara ini membutuhkan biaya besar, mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah, tergantung skala merajan. Selain itu, keluarga juga harus menyediakan waktu berbulan-bulan untuk pembangunan dan persiapan upacara, yang tentu berat bagi mereka yang harus bekerja.
Di Bali, merajan (pura keluarga) itu bukan sekadar bangunan biasa. Ia punya nilai suci, kekerabatan, dan spiritual yang sangat penting. Kalau sampai harus dipindahkan karena proyek atau jual beli tanah, wajar sekali keluarga menuntut harga tinggi karena:
Biaya membangun ulang merajan tidak kecil.
Banten / upacara saat memindahkan pura itu jauh lebih besar biayanya daripada sekadar mendirikan bangunan rumah biasa.
Nilai emosional & leluhur – merajan adalah pusat doa keluarga, tempat sanggah kamulan (pemujaan leluhur). Jadi bagi warga, itu bukan sekadar tanah atau bangunan, melainkan warisan spiritual keluarga.
Jadi sangat masuk akal kalau dalam negosiasi harga tanah, warga Bali menghitung bukan cuma nilai tanah & bangunan, tapi juga biaya relokasi pura keluarga + upacara.
Kalau merajan (sanggah/paibon keluarga) dipindahkan, tidak cukup sekadar memindahkan bangunan. Ada rangkaian upacara Hindu Bali yang harus dilakukan agar stana Ida Sang Hyang Widhi dan Leluhur bisa berfungsi kembali di tempat baru. Berikut contoh upacara yang umumnya wajib dilakukan:
🌸 1. Upacara Matur Piuning
· Tujuan: Memberitahu para leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi kalau merajan akan dipindahkan.
· Isi: Banten sederhana di merajan lama.
· Biaya: Rp 500 ribu – Rp 2 juta (tergantung jenis banten).
🌸 2. Upacara Mapadudusan / Mapepada (kalau merajan besar)
· Tujuan: Menyucikan dan memutus ikatan pura lama dengan tanah sebelumnya.
· Isi: Caru (tawur) di lokasi lama sebelum bongkar.
· Biaya: Rp 3 juta – Rp 10 juta.
🌸 3. Upacara Memindahkan Pratima / Tapakan / Arca
· Tujuan: Menyertai roh leluhur dan pratima suci menuju tempat baru.
· Isi: Pawintenan kecil, banten khusus (canang, pejati, ajuman).
· Biaya: Rp 2 juta – Rp 5 juta.
🌸 4. Upacara Ngenteg Linggih
· Tujuan: Menghidupkan kembali fungsi suci merajan di lokasi baru, supaya roh leluhur “berstana” di tempat itu.
· Isi: Banten besar (banten bebangkit, bebangkit agung, suci-suci), piodalan kecil.
· Biaya: Rp 15 juta – Rp 50 juta (tergantung skala dan jumlah pelinggih).
🌸 5. Upacara Pemelaspas & Mendem Pedagingan
· Tujuan: Menyucikan bangunan merajan baru dan menetapkan isinya (pedagingan = inti sakral di pelinggih).
· Isi: Banten pemelaspas, bebangkit, caru, dll.
· Biaya: Rp 5 juta – Rp 20 juta.
🌸 6. Upacara Mupuk Pedagingan / Ngelinggihan
· Tujuan: Penetapan resmi pura keluarga baru berfungsi.
· Isi: Upacara besar, melibatkan banyak pemangku/pandita.
· Biaya: Rp 20 juta – Rp 100 juta (kalau merajan besar dengan pelinggih banyak).
💰 Estimasi Total Biaya
· Merajan kecil (2–3 pelinggih) → sekitar Rp 25 juta – Rp 40 juta.
· Merajan sedang (5–7 pelinggih) → sekitar Rp 50 juta – Rp 100 juta.
· Merajan besar (Paibon dengan banyak pelinggih) → bisa lebih dari Rp 150 juta.
👉 Jadi kalau ada warga menuntut harga tinggi ketika tanahnya akan diambil alih untuk proyek, itu bukan semata “naikin harga” tapi karena memang ada biaya nyata dan kewajiban adat yang harus mereka tanggung.
Proses membongkar, membangun higga meresmikan kembali merajan bisa memakan waktu 6 bulan hingga 2 tahun. Tidak hanya lama, tetapi juga harus mengikuti hari baik (dewasa ayu) menurut perhitungan wariga. Itu berarti keluarga tidak bisa seenaknya menentukan jadwal. Bagi mereka yang bekerja, proses panjang ini memaksa untuk sering mengambil cuti, kehilangan penghasilan atau harus membayar tenaga tambahan untuk mengurus keperluan adat.
Kalau keluarga yang harus memindahkan merajan itu warga yang bekerja (entah PNS, pegawai swasta, atau pedagang), tantangannya jadi makin berat:
· Upacara seperti mepada, pemelaspas, ngenteg linggih biasanya butuh 1–3 hari penuh, bahkan bisa seminggu kalau besar.
· Kalau warga bekerja, mereka harus ambil cuti, kehilangan pemasukan harian, atau repot atur jadwal dengan perusahaan.
· Banten (sesajen) tidak bisa instan — biasanya dibuat berhari-hari, kadang berminggu-minggu.
· Kalau keluarga sibuk bekerja, mereka harus membayar tukang banten, yang menambah biaya lagi.
· Proses membangun 3–12 bulan, sementara warga tetap harus kerja.
· Harus sering bolak-balik awasi tukang, konsultasi dengan undagi (arsitek tradisional Bali), itu semua butuh waktu ekstra di luar jam kerja.
· Upacara besar seperti ngenteg linggih biasanya melibatkan seluruh keluarga besar (krama paibon).
· Artinya semua harus cari hari yang sama-sama kosong, padahal masing-masing punya kesibukan kerja.
· Pindah merajan bukan cuma teknis, tapi juga emosional.
· Warga harus pastikan upacara dilakukan dengan benar, karena ini menyangkut sisi spiritual & leluhur.
· Kalau sedang kerja, pikiran bisa terpecah antara tanggung jawab adat dan tuntutan pekerjaan.
⏳ Jadi, ketika tanah warga “diminta” untuk proyek besar, bagi pekerja bukan hanya soal biaya, tapi juga soal waktu: cuti, tenaga, repotnya koordinasi, dan resiko ekonomi.
Itu sebabnya kompensasi wajar biasanya jauh di atas harga pasar tanah biasa. Karena yang hilang bukan sekadar tanah, tapi juga:
· beban biaya adat,
· waktu berbulan-bulan,
· gangguan pekerjaan & ekonomi keluarga.
Masyarakat Bali terikat dengan sistem banjar adat dan Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Desa dan Dalem). Setiap warga wajib ngayah (bergotong royong) saat ada upacara desa atau pura. Jika pindah ke daerah baru, otomatis harus menyesuaikan dengan adat setempat yang mungkin berbeda atau malah kehilangan ikatan sosial yang sudah dijalankan sejak lahir. Bahkan jika pindah ke kawasan modern tanpa adat, muncul pertanyaan besar: sembahyang di mana, jika tidak ada pura desa yang disungsung bersama?
Kalau sebuah keluarga sampai harus pindah rumah atau merajan karena tanahnya dipakai proyek, masalahnya jadi jauh lebih kompleks:
⚖️ 1. Gotong Royong & Ikatan Sosial
· Di Bali, setiap keluarga terikat dengan banjar adat.
· Kalau ada upacara (odalan, ngaben, ngayah di pura), warga wajib hadir dan ikut gotong royong.
· Kalau pindah keluar banjar, mereka otomatis kehilangan ikatan sosial ini, padahal itu bagian penting dari identitas.
⚖️ 2. Pura Kahyangan Tiga
· Setiap desa adat punya Pura Kahyangan Tiga:
o Pura Puseh (pemujaan asal mula)
o Pura Desa/Bale Agung (fungsi sosial kemasyarakatan)
o Pura Dalem (kematian & penyucian roh)
· Semua warga wajib nyungsung (ikut tanggung jawab ngayah & sembahyang) di pura-pura ini.
· Kalau pindah ke daerah lain, otomatis mereka harus ikut adat & pura di sana → artinya ikatan leluhur dengan pura asal bisa terputus.
⚖️ 3. Identitas Adat
· Tiap desa adat punya aturan sendiri (awig-awig).
· Kalau pindah ke desa adat lain, keluarga harus menyesuaikan aturan baru, yang kadang berbeda jauh.
· Ini bisa bikin konflik identitas: “ikut adat mana?”
⚖️ 4. Kalau Pindah ke Perumahan / Daerah Tanpa Adat
· Ada juga keluarga yang pindah ke rumah di luar struktur adat (misalnya komplek modern).
· Masalahnya: tidak ada pura kahyangan 3 di sana.
· Mereka tetap bisa sembahyang di merajan keluarga, tapi:
o Tidak ikut ngayah di pura banjar.
o Tidak ikut piodalan desa.
o Bisa merasa “terputus” dari sistem adat Bali yang sudah jadi akar budaya.
🌸 Kenapa Ini Ribet untuk Warga?
Karena di Bali, hidup & adat menyatu.
· Pindah rumah = bukan sekadar pindah fisik, tapi pindah adat, pura, gotong royong, bahkan leluhur.
· Itu artinya keluarga harus membina hubungan sosial baru, ngayah baru, pura baru → proses yang tidak mudah, baik emosional maupun spiritual.
👉 Jadi, wajar banget kalau masyarakat menolak begitu saja ketika diminta pindah dari tanah mereka.
Karena yang hilang bukan cuma tanah + merajan, tapi juga:
· identitas adat,
· ikatan sosial banjar,
· hubungan dengan pura kahyangan 3 dan leluhur.
Masalah lain adalah ketersediaan lahan. Pulai Bali kecil, dengan populasi yang terus bertambah dan sector pariwisata yang agresif membeli lahan. Di wilayah padat seperti Badung, Gianyar dan Denpasar tanah kosong semakin jarang dan harganya melambung tinggi. Artinya kalaupun keluarga besedia pindah belum tentu ada tanah yang cocok untuk mendirikan rumah sekaligus merajan.
Selain soal biaya, waktu, dan adat, ada faktor keterbatasan tanah yang membuat pindah merajan atau rumah nyaris mustahil:
⚠️ 1. Ketersediaan Tanah di Bali Terbatas
· Bali termasuk pulau kecil dengan luas terbatas dan populasi padat.
· Di daerah wisata (Badung, Gianyar, Denpasar), harga tanah tinggi dan lahan kosong minim.
· Kalau keluarga harus pindah, mereka tidak gampang menemukan tanah yang cukup untuk merajan + rumah sesuai adat.
⚠️ 2. Keterikatan dengan Banjar & Pura
· Tanah baru tidak bisa sembarangan. Harus:
o Masuk wilayah banjar yang menerima anggota baru.
o Memiliki akses ke Pura Kahyangan Tiga.
· Jadi pindah ke lahan kosong di daerah lain → bisa tidak ada banjar yang mengatur, pura kahyangan 3 tidak ada → masalah adat muncul.
⚠️ 3. Keterbatasan Ruang untuk Merajan
· Merajan tidak bisa terlalu kecil, karena ada pelinggih tertentu yang harus dibangun.
· Di lahan terbatas, sulit membuat merajan layak dan tetap mengikuti aturan Asta Kosala-Kosali.
⚠️ 4. Dampak Sosial & Ekonomi
· Tanah yang menipis → harga semakin mahal → pindah memerlukan dana besar.
· Keluarga yang pindah → harus mengeluarkan biaya tinggi + upacara adat + waktu → beban semakin berat.
Tanah di Bali sudah langka, pindah bukan sekadar membayar harga tanah, tapi menghadapi keterbatasan fisik, aturan adat, dan struktur sosial. Itulah salah satu alasan mengapa warga menolak pelepasan tanah mereka, bahkan untuk proyek besar: karena pilihan pindah praktis hampir tidak ada.
Tanah di Bali bukan hanya soal tempat tinggal, tapi juga identitas budaya dan spiritual. Di sanalah leluhur dipuja, ikatan sosial banjar terjaga, dan pura kahyangan tiga disungsung. Jika tanah itu hilang, yang hilang bukan hanya rumah, tapi juga hubungan dengan leluhur, masyarakat, dan akar budaya.
Bagi masyarakat Bali, menolak pindah dari tanah leluhur bukanlah sekadar keras kepala. Ada alasan mendasar: biaya upacara yang besar, waktu panjang, keterikatan adat, hingga kelangkaan lahan. Semua ini menjadikan tanah Bali bukan sekadar properti, melainkan warisan hidup yang menyatukan keluarga, leluhur, dan budaya.
Itulah mengapa setiap kali ada proyek besar yang mencoba mengambil alih tanah warga, masyarakat Bali berdiri teguh. Karena bagi mereka, tanah bukan sekadar harga—tetapi kehidupan itu sendiri. Biar investor paham.
17 Desember 2024
Di era digital ini, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupa...
8 September 2025
Di era digital seperti sekarang, kemampuan anak dalam memahami teknologi menjadi...
20 Desember 2024
Belajar komputer sering kali dianggap membosankan oleh anak-anak. Namun, dengan...
28 Oktober 2024
Dunia teknologi terus berkembang, begitu juga dengan bahasa pemrograman. Setiap...
9 Juni 2025
Perkembangan teknologi membuat cara kita bekerja ikut berubah. Kini, banyak peke...