Tembok di dekat Jalan: Ketika Akses Warga Tertutup Demi Kepentingan Besar

Budaya 23 Oktober 2025
2 views
bali, GWK

Di sebuah kawasan yang tak jauh dari kompleks megah Garuda Wisnu Kencana (GWK), muncul kisah getir yang jarang tersorot kamera: warga yang kehilangan akses jalan ke rumahnya sendiri.


Bukan karena bencana, bukan karena proyek negara, tapi karena tembok. Sebuah tembok yang berdiri tegak di atas tanah sejengkal dan kini diklaim sebagai milik GWK.


Tanah yang sejatinya hanya selebar beberapa langkah itu tiba-tiba menjadi tembok pembatas, seolah-olah dunia di baliknya bukan lagi milik warga sekitar. Akses jalan yang selama ini dilalui orang-orang kampung, kini berubah menjadi dinding bisu yang memisahkan “mereka yang punya kuasa” dengan “mereka yang hanya ingin hidup layak.”



Dari Tanah Sejengkal Jadi Jurang Sosial

Secara hukum, tanah di tepi jalan umumnya masuk dalam ruang milik jalan tanah negara untuk kepentingan publik. Tidak ada istilah “tanah pribadi sejengkal di seberang jalan umum” kecuali ada kejanggalan administrasi.


Namun, di kawasan ini, klaim itu tetap disuarakan. Pihak GWK disebut-sebut menegaskan bahwa sejengkal tanah di dekat jalan adalah milik mereka. Sementara di sisi lain tembok, ada rumah-rumah warga yang kini seperti terkurung tanpa akses layak.


Jika beberapa warga seandainya berniat untuk menjual tanahnya, setelah akses jalan mereka tertutup. Pertanyaannya: apakah ini kebetulan atau strategi halus untuk menguasai lahan warga kecil?




Menembok Jalan, Menembok Hak

Dalam negara hukum, tindakan menutup akses publik bukan persoalan ringan.

Pasal 192 KUHP tegas menyebutkan bahwa siapa pun yang “merintangi jalan umum” bisa dipidana hingga 1 tahun 4 bulan penjara.


Lebih jauh lagi, kalau penutupan itu disertai tekanan agar warga menjual tanahnya, bisa masuk kategori pemaksaan atau pemerasan terselubung (Pasal 335 dan 368 KUHP).


Artinya, tembok itu bukan hanya masalah fisik ia adalah simbol pengekangan hak warga, dan bisa jadi, wujud penyalahgunaan kekuasaan ekonomi.



Negara Harus Hadir

Jalan bukan sekadar aspal dan tanah. Ia adalah urat nadi kehidupan warga.

Ketika akses itu dirampas, negara wajib hadir entah melalui pemerintah desa, BPN, atau aparat hukum.


Warga tidak seharusnya dibiarkan berhadapan sendirian dengan tembok raksasa yang dibangun oleh kuasa modal.


Apalagi jika di balik tembok itu, ada aroma intimidasi halus: “jual saja tanahmu, daripada tidak bisa lewat.”


Di titik inilah, penegakan hukum bukan sekadar soal pasal, tapi soal keadilan. Karena hukum yang diam di hadapan tembok ketidakadilan hanyalah pajangan di atas kertas.



Tembok yang Membelah Rasa Keadilan

GWK adalah simbol budaya, pariwisata, dan kebanggaan Bali. Tapi di sisi lain, jika nama besar itu berubah menjadi alasan untuk mengabaikan hak warga kecil, maka nilai luhur yang diusungnya akan runtuh.


Tidak ada kemegahan yang pantas dibangun di atas penderitaan rakyat yang kehilangan jalan menuju rumahnya.


Tembok bisa dibangun di mana saja tapi jangan sampai tembok itu berdiri di antara warga dan rasa keadilan.



Penutup

Kisah di dekat jalan GWK bukan sekadar konflik tanah. Ini potret kecil dari bagaimana ketimpangan dan kuasa modal bisa menutup akses, bukan hanya ke jalan, tapi juga ke harapan.


Dan selama negara membiarkan tembok itu berdiri, maka sejatinya yang tertutup bukan cuma jalan tapi juga nurani hukum kita sendiri.

Kategori

Artikel Populer